Entri Populer

Minggu, 27 November 2011

PILAR PENDIDIKAN

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
Pendidikan biasanya berawal saat seorang bayi itu dilahirkan dan berlangsung seumur hidup. Pendidikan bisa saja berawal dari sebelum bayi lahir seperti yang dilakukan oleh banyak orang dengan memainkan musik dan membaca kepada bayi dalam kandungan dengan harapan ia bisa mengajar bayi mereka sebelum kelahiran.
Bagi sebagian orang, pengalaman kehidupan sehari-hari lebih berarti daripada pendidikan formal. Seperti kata Mark Twain, "Saya tidak pernah membiarkan sekolah mengganggu pendidikan saya."
Anggota keluarga mempunyai peran pengajaran yang amat mendalam, sering kali lebih mendalam dari yang disadari mereka, walaupun pengajaran anggota keluarga berjalan secara tidak resmi.
(id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan)
Filsafat Pendidikan
Pendidikan adalah upaya mengembangkan potensi peserta didik agar potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam hidupnya. Dasar pendidikan adalah cita-cita kemanusiaan universal. Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan. organis, harmonis, dinamis. guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan. Filsafat pendidikan adalah filsafat yang digunakan dalam studi mengenai masalah-masalah pendidikan.
Beberapa aliran filsafat pendidikan;
1. Filsafat pendidikan progresivisme. yang didukung oleh filsafat pragmatisme.
2. Filsafat pendidikan esensialisme. yang didukung oleh idealisme dan realisme; dan
3. Filsafat pendidikan perenialisme yang didukung oleh idealisme.
Belajar berfungsi untuk :mempertinggi taraf kehidupan sosial yang sangat kompleks. Kurikulum yang baik adalah kurikulum yang eksperimental, yaitu kurikulum yang setiap waktu dapat disesuaikan dengan kebutuhan.

Esensialisme dan Perenialisme
Esensialisme berpendapat bahwa dunia ini dikuasai oleh tata yang tiada cela yang mengatur dunia beserta isinya dengan tiada cela pula. Esensialisme didukung oleh idealisme modern yang mempunyai pandangan yang sistematis mengenai alam semesta tempat manusia berada. Esensialisme juga didukung oleh idealisme subjektif yang berpendapat hahwa alam semesta itu pada hakikatnya adalah jiwa/spirit dan segala sesuatu yang ada ini nyata ada dalam arti spiritual. Realisme berpendapat bahwa kualitas nilai tergantung pada apa dan bagaimana keadaannya, apabila dihayati oleh subjek tertentu, dan selanjutnya tergantung pula pada subjek tersebut.
Menurut idealisme, nilai akan menjadi kenyataan (ada) atau disadari oleh setiap orang apabila orang yang bersangkutan berusaha untuk mengetahui atau menyesuaikan diri dengan sesuatu yang menunjukkan nilai kepadanya dan orang itu mempunyai pengalaman emosional yang berupa pemahaman dan perasaan senang tak senang mengenai nilai tersehut. Menunut realisme, pengetahuan terbentuk berkat bersatunya stimulus dan tanggapan tententu menjadi satu kesatuan. Sedangkan menurut idealisme, pengetahuan timbul karena adanya hubungan antara dunia kecil dengan dunia besar. Esensialisme berpendapat bahwa pendidikan haruslah bertumpu pada nilai- nilai yang telah teruji keteguhan-ketangguhan, dan kekuatannya sepanjang masa.
Perenialisme berpendirian bahwa untuk mengembalikan keadaan kacau balau seperti sekarang ini, jalan yang harus ditempuh adalah kembali kepada prinsip-prinsip umum yang telah teruji. Menurut. perenialisme, kenyataan yang kita hadapi adalah dunia dengan segala isinya. Perenialisme berpandangan hahwa persoalan nilai adalah persoalan spiritual, sebab hakikat manusia adalah pada jiwanya. Sesuatu dinilai indah haruslah dapat dipandang baik.
Beberapa pandangan tokoh perenialisme terhadap pendidikan:
1. Program pendidikan yang ideal harus didasarkan atas paham adanya nafsu, kemauan, dan akal (Plato)
2. Perkemhangan budi merupakan titik pusat perhatian pendidikan dengan filsafat sebagai alat untuk mencapainya ( Aristoteles)
3. Pendidikan adalah menuntun kemampuan-kemampuan yang masih tidur agar menjadi aktif atau nyata. (Thomas Aquinas)

Salah satu indikator kualitas kesejahteraan suatu bangsa, ditentukan oleh pendidikan, karenanya arah kebijakan pendidikan suatu bangsa menunjukan arah kesejahteraan yang ingin dicapai bangsa tersebut. Untuk itu UNESCO memberi koridor pendidikan dalam 4 pilar yakni : learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together. Dalam perjalanan selanjutnya, pilar ke empat ditambahkan menjadi lerarning to live together in peace an harmony. Berikut ini penjelasan tentang ke-4 pilar pendidikan tersebut :
(http://lp2m.web.id/pilar-pendidikan-menurut-unesco/)
1. Learning to know : Penguasaan yang dalam dan luas akan bidang ilmu tertentu, termasuk di dalamnya Learning to How
Artinya siswa memiliki pemahaman dan penalaran yang bermakna terhadap produk dan proses pendidikan (apa,bagaimana, dan mengapa) yang memadai. Dalam pembelajaran misalnya, siswa diharapkan memahami secara bermakna fakta, konsep, prinsip, hukum, teori, model, idea , dan hubungan antar idea tersebut; dan alasan yang mendasarinya, serta menggunakan idea itu untuk menjelaskan dan memprediksi proses-proses berikutnya.
(http://lp2m.web.id/pilar-pendidikan-menurut-unesco/)
Penguasaan yang dalam dan luas akan bidang ilmu tertentu, termasuk di dalamnya Learning to How.
Secara Implisit, Learning to know bermakna:
* Belajar Sepanjang Hayat (life long of education)
* Belajar bagaimana caranya untuk belajar (learning how to learn)

Belajar untuk mengetahui (learning to know) dalam prosesnya tidak sekedar mengetahui apa yang bermakna tetapi juga sekaligus mengetahui apa yang tidak bermanfaat bagi kehidupan.

Tenaga kependidikan (Guru, pelatih, instruktur, dll) harus menjadi inspirator dalam pengembangan, perencanaan, dan pembinaan pendidikan dan pembelajaran. Hal ini juga secara eksplisit di cantumkan dalam PP no 19 tahun 2005, yaitu guru sebagai Agent Pembelajaran harus menjadi Fasilitator, pemacu, motivator, dan inspirator bagi peserta didik. Di samping itu guru dituntut untuk dapat berperan ganda sebagai kawan berdialog bagi siswanya dalam rangka mengembangkan penguasaan pengetahuan siswa.
Untuk mengimplementasikan “learning to know” (belajar untuk mengetahui), Guru harus mampu menempatkan dirinya sebagai fasilitator. Di samping itu guru dituntut untuk dapat berperan ganda sebagai kawan berdialog bagi siswanya dalam rangka mengembangkan penguasaan pengetahuan siswa.
(http://atikatikaaziz.blogspot.com/)
2. Learning to do : Belajar untuk mengaplikasi ilmu, bekerja sama dalam team, belajar memecahkan masalah dalam berbagai situasi.
Artinya siswa memiliki keterampilan dan dapat melaksanakan proses pembelajaran yang memadai untuk memacu peningkatan perkembangan intelektualnya. Beberapa hal yang mendukung penerapan “learning to do” dalam pembelajaran adalah : (1) Pembelajaran berorientasi pada pendekatan konstruktivisme. (2) Belajar merupakan proses yang aktif, dinamik, dan generatif
(http://lp2m.web.id/pilar-pendidikan-menurut-unesco/)
Belajar untuk mengaplikasi ilmu, bekerja sama dalam team, belajar memecahkan masalah dalam berbagai situasi, belajar untuk berkarya atau mengaplikasikan ilmu yang didapat oleh siswa.

Di dalam sebuah pembelajaran ada prinsip aktivitas (ada kegiatan) :
* Hard Skills : keterampilan yang menuntut fisik
* Soft Skills : keterampilan yang menuntut intelektual

Proses belajar menghasilkan perubahan dalam ranah kognitif, peningkatan kompetensi, serta pemilihan dan penerimaan secara sadar terhadap nilai, sikap, penghargaan, perasaan, serta kemauan untuk berbuat atau merespon suatu stimulus. Pendidikan membekali manusia tidak sekedar untuk mengetahui, tetapi lebih jauh untuk terampil berbuat atau mengerjakan sesuatu sehingga menghasilkan sesuatu yang bermakna bagi kehidupan.

Sekolah sebagai wadah masyarakat belajar seharusnya memfasilitasi siswanya untuk mengaktualisasikan keterampilan yang dimiliki, serta bakat dan minatnya agar “Learning to do” (belajar untuk melakukan sesuatu) dapat terrealisasi. Walau sesungguhnya bakat dan minat anak dipengaruhi faktor keturunan namun tumbuh dan berkembangnya bakat dan minat juga bergantung pada lingkungan. Seperti kita ketahui bersama bahwa keterampilan merupakan sarana untuk menopang kehidupan seseorang bahkan keterampilan lebih dominan daripada penguasaan pengetahuan semata. Selain itu, sekolah juga berperan penting dalam menyadarkan peserta didik bahwa berbuat sesuatu begitu penting. Oleh karena itulah peserta didik mesti terlibat aktif dalam menyelesaikan tugas-tugas sekolah. Tujuannya adalah agar peserta didik terbiasa bertanggung jawab, sehingga pada akhirnya, peserta didik terlatih untuk memecahkan masalah.
(http://atikatikaaziz.blogspot.com/)
3. Learning to be : belajar untuk dapat mandiri, menjadi orang yang bertanggung jawab untuk mewujudkan tujuan bersama.
Artinya siswa dapat menghargai atau mempunyai apresiasi terhadap nilai-nilai dan keindahan akan produk dan proses pendidikan , yang ditunjukkan dengan sikap senang belajar, bekerja keras, ulet, sabar, disiplin, jujur, serta mempunyai motif berprestasi yang tinggi dan rasa percaya diri. Aspek-aspek di atas mendukung usaha siswa meningkatkan kecerdasan dan mengembangkan keterampilan intelektual dirinya secara berkelanjutan.
(http://lp2m.web.id/pilar-pendidikan-menurut-unesco/)
Penguasaan pengetahuan dan keterampilan merupakan bagian dari proses menjadi diri sendiri (learning to be). Menjadi diri sendiri diartikan sebagai proses pemahaman terhadap kebutuhan dan jati diri. Belajar berperilaku sesuai dengan norma dan kaidah yang berlaku di masyarakat, belajar menjadi orang yang berhasil, sesungguhnya merupakan proses pencapaian aktualisasi diri.

Hal ini erat sekali kaitannya dengan bakat, minat, perkembangan fisik, kejiwaan, tipologi pribadi anak serta kondisi lingkungannya. Misal : bagi siswa yang agresif, akan menemukan jati dirinya bila diberi kesempatan cukup luas untuk berkreasi. Dan sebaliknya bagi siswa yang pasif, peran guru sebagai kompas penunjuk arah sekaligus menjadi fasilitator sangat diperlukan untuk menumbuhkembangkan potensi diri siswa secara utuh dan maksimal.

Selain itu, pendidikan juga harusbermuara pada bagaimana peserta didik menjadi lebih manusiawi, menjadi manusia yang berperi kemanusiaan.
(http://atikatikaaziz.blogspot.com/)
“learning to be” erat sekali kaitannya dengan bakat, minat, perkembangan fisik, kejiwaan, tipologi pribadi anak serta kondisi lingkungannya. Misal : bagi siswa yang agresif, akan menemukan jati dirinya bila diberi kesempatan cukup luas untuk berkreasi. Dan sebaliknya bagi siswa yang pasif, peran guru sebagai kompas penunjuk arah sekaligus menjadi fasilitator sangat diperlukan untuk menumbuhkembangkan potensi diri siswa secara utuh dan maksimal.
4. Learning to live together : Belajar memhami dan menghargai orang lain, sejarah mereka dan nilai-nilai agamanya.
Artinya siswa dapat bersosialisasi dan berkomunikasi dalam proses pendidikan , melalui bekerja atau belajar bersama atau dalam kelas, saling menghargai pendapat orang lain, menerima pendapat yang berbeda, belajar mengemukakan pendapat dan atau bersedia “sharing ideas” dengan orang lain dalam kegiatan pembelajaran atau bidang lainnya.
(http://lp2m.web.id/pilar-pendidikan-menurut-unesco/)
Dengan kemampuan yang dimiliki, sebagai hasil dari proses pendidikan, dapat dijadikan sebagai bekal untuk mampu berperan dalam lingkungan di mana individu tersebut berada, dan sekaligus mampu menempatkan diri sesuai dengan perannya. Pemahaman tentang peran diri dan orang lain dalam kelompok belajar merupakan bekal dalam bersosialisasi di masyarakat (learning to live together)

Kebiasaan hidup bersama, saling menghargai, terbuka, memberi dan menerima perlu dikembangkan disekolah. Kondisi seperti inilah yang memungkinkan tumbuhnya sikap saling pengertian antar ras, suku, dan agama. Pendidikan di sekolah juga harus merangsang soft skill peserta didik sehingga kelak mereka mampu hidup bersama dengan orang lain, mampu bekerja sama dengan orang lain. Bahkan mereka terlatih untuk peka akan suka-duka orang lain. Terjadinya proses “learning to live together” (belajar untuk menjalani kehidupan bersama), pada pilar keempat ini, kebiasaan hidup bersama, saling menghargai, terbuka, memberi dan menerima perlu dikembangkan disekolah. Kondisi seperti inilah yang memungkinkan tumbuhnya sikap saling pengertian antar ras, suku, dan agama
(http://atikatikaaziz.blogspot.com/)
(http://alveean.wordpress.com/)
Dengan mengaplikasikan pilar-pilar tersebut, diharapkan pendidikan yang berlangsung di seluruh dunia termasuk Indonesia dapat menjadi lebih baik, namun yang menjadi masalah adalah dunia pendidikan di Indonesia yang saat ini masih minim fasilitas, terlebih lagi di daerah-daerah terpencil, belum meratanya fasilitas pendidikan, tentunya akan menjadi halangan bagi siswa untuk mengembangkan diri mereka, sebagaimana pilar pendidikan pada point pertama di atas, “Learning to know”, bagaimana siswa dapat menambah ilmu sebanyak-banyaknya sedangkan fasilitasnya saja tidak memadai? Bagaimana mereka bisa mencari tambahan referensi ilmu sedangkan semua yang mereka dapat sangat terbatas? Lalu, mengarah ke point kedua, “Learning To Do”, belajar untuk berkarya atau mengaplikasikan ilmu yang didapat oleh siswa, di sini kembali muncul pertanyaan, bagaimana siswa dapat berkarya sedangkan ilmu mereka sangat minim.
Dapat kita lihat, pilar-pilar pendidikan tersebut memang dirancang dengan sangat bagus dan dengan tujuan yang sangat bagus pula, namun perlu diingat, masih banyak aspek penghalang dalam pelaksanaan pilar-pilar pendidikan tersebut, sebut saja kurangnya SDM guru yang benar-benar “mumpuni”, perbedaan pola pikir setiap masyarakat atau daerah dalam memandang arti penting pendidikan, kemudian lagi, FASILITAS, fasilitas yang minim entah dananya yang tidak ada atau mampir ke kantong karuptor akan sangat menghambat kemajuan proses belajar mengajar, dan kendala-kendala yang lain.

C. Prinsip Dasar Pendidikan Ki Hajar Dewantara
Menurut Ki Hajar Dewantara, mendidik dalam arti yang sesungguhnya adalah proses memanusiakan manusia (humanisasi), yakni pengangkatan manusia ke taraf insani. Di dalam mendidik, ada pembelajaran yang merupakan komunikasi eksistensi manusiawi yang otentik kepada manusia, untuk dimiliki, dilanjutkan dan disempurnakan. Jadi sesungguhnya pendidikan adalah usaha bangsa ini membawa manusia Indonesia keluar dari kebodohan, dengan membuka tabir aktual-transenden dari sifat alami manusia (humanis).
Menurut Ki Hajar Dewantara, tujuan pendidikan adalah “penguasaan diri” sebab di sinilah pendidikan memanusiawikan manusia (humanisasi). Penguasaan diri merupakan langkah yang harus dituju untuk tercapainya pendidikan yang mamanusiawikan manusia. Ketika setiap peserta didik mampu menguasai dirinya, mereka akan mampu juga menentukan sikapnya. Dengan demikian akan tumbuh sikap yang mandiri dan dewasa.
Dalam konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara, ada 2 hal yang harus dibedakan yaitu sistem “Pengajaran” dan “Pendidikan” yang harus bersinergis satu sama lain. Pengajaran bersifat memerdekakan manusia dari aspek hidup lahiriah (kemiskinan dan kebodohan). Sedangkan pendidikan lebih memerdekakan manusia dari aspek hidup batin (otonomi berpikir dan mengambil keputusan, martabat, mentalitas demokratik).
Sebuah semboyan pendidikan yang sangat terkenal dari bapak Pendidikan Indonesia Ki hajar dewantara. Kalimat yang terdiri tidak lebih dari tiga baris ini menurut penulis mempunyai arti yang sangat dalam tidak hanya dalam bidang pendidikan, tetapi juga dalam mendeskripsikan konsep kepemimpinan ( leadership) yang ideal. Karena itu dalam kesempatan ini penulis tertarik untuk ikut mengupas konsep kepemimpinan yang terkandung. Lebih khususnya lagi, tulisan ini membahas kepemimpinan dalam organisasi.
Ing Ngarso Sung Tulodo
Dari baris yang pertama yang secara umum diartikan memberi contoh ketika di depan. Semboyan ini relevan dengan tugas - tugas seorang pemimpin manakala berada di depan maka ia menjadi teladan bagi anggotanya. Mulai dari penampilan, sikap, ucapan, perilaku dan keputusan - keputusan. Seorang pemimpin benar - benar dituntut untuk menjadi model yang baik bagi anak anggotannya. Profil pemimpin yang baik di mata para anggotanya akan membawa anggoatnya merasa pantas untuk dipimpin, tetapi jika profil pemimpin tersebut tidak bisa dijadikan suatu teladan yang baik maka secara alami anggotanya akan mencari sosok pemimpin lain yang dianggapnya ideal. Jika keadaan ini terus berlanjut maka pemimpin dengan model yang tidak baik akan kesulitan untuk mengatur para anggota yang pada akhirnya akan membuat organisasi tidak kondusif dan banyak kehilangan anggota karena model yang ada tiadak dianggap.
Dalam teori - teori Kepemimpinan tradisional, kalimat ing ngarso sung tulodho ini secara implisit juga mendeskripsikan tipe kepemimpinan Otoriter. Pengertian seorang pemimpin yang berada di depan menunjukkan superioritas pemimpin dibanding aggotanya, segala keputusan mengenai berbagai organisasi seluruhnya di atur oleh pemimpin tersebut sehingga anggotanya tinggal menjalankan perintah. Komunikasi dalam tipe kepemimpinan otoriter banyak diwarnai oleh komunikasi satu arah vertikal yang bersifat instruktif. Posisi pemimpin yang lebih superior tanpa ada regulasi - regulasi yang mengatur untuk membatasi superioritasnya menyebabkan pemimpin dapat memanipulasi kebenaran berdasarkan kekuasaannya.
Dalam konsep kepemimpinan Situasional, kepemimpinan Otoriter lebih cocok diterapkan manakala seluruh atau sebagian besar anggotanya adalah tipe anggota yang tidak mampu-mau. Tipe anggota seperti ini adalah mereka yang tidak tahu atau tidak memahami tugas, konsep, tujuan, alur kerja organisasi tetapi memiliki semangat untuk melaksanakan tugas tugas yang diberikan. Maka dari itu seorang pemimpin akan sangat sering memberikan instruksi kepada anggotanya dalam melaksanakan tugas sehingga tugas dapat diselesaikan dengan baik. Proses semacam ini sangat memakan waktu dan menghabiskan energi bagi seorang pemimpin. Pemimpin yang menerapkan gaya kepemimpinan otoriter dituntut mempunyai ketahanan lebih dibanding tipe demokratis dan laissez faire.
Ing Madyo Mangun Karso
Kalimat ini secara umum diartikan, ketika seorang pemimpin berada di tengah - tengah kelompoknya maka ia mempelopori dan mengajak anggotanya untuk bekerja. Tugas pemimpin ketika berada di tengah - tengah kelompok adalah membangun tim yang solid. Pemimpin dituntut untuk bisa bekerja bersama - sama anggotanya. (gotong - royong) untuk membagi beban yang ada sesuai asas berat sama dipikul ringan sama dijinjing.
Dalam teori tipe-tipe kepemimpinan, posisi Pemimpin yang berada di tengah secara implisit mendeskripsikan tipe kepemimpinan demokratis. Posisi pemimpin tersebut juga menunjukkan kedekatannya dengan anggota organisasi meninggalkan kesan superior. Dengan bahasa lain pemimpin dengan tipe demokratis harus bisa turun ke level yang sama dengan kemampuan anggota organisasinya agar tercipta kerjasama tim yang solid. Proses musyawarah untuk mufakat sangat dijunjung tinggi untuk menampung dan memproses aspirasi dari anggota - anggota organisasi sehingga keputusan yang dihasilkan adalah mewakili organisasi. Walaupun seorang pemimpin mempunyai hak prerogatif untuk mengendalikan organisasi agar tetap sesuai dengan visi dan misi, di sini hak tersebut secara moral dibatasi agar tercipta dinamika kelompok. Dalam model demokrasi, penuh dengan komunikasi dua arah baik horizontal maupun vertikal sehingga setiap anggota organisasi dapat memberi masukan pada pemimpinnya atau sesama anggota organisasi. Tipe pemimpin semacam ini sangat membuka peluang bagi tiap anggota organisasi untuk mengasah potensinya masing - masing.
Dari perspektif Kepemimpinan situasional, tipe kepemimpinan demokratis ini layak untuk diterapkan manakala banyak diantara anggota organisasi adalah dari mereka yang Mampu-tidak mau. Anggota organisasi yang demikian adalah mereka yang secara umum telah mengetahui tugas, konsep dan alur kerja organisasi tetapi tidak mau untuk melaksanakan tugas yang ada karena sesuatu hal (entah itu karena motivasi, waktu, finansial atau yang lainnya ). Nah, Disinilah peran pemimpin yang yang berada di tengah - tengah anggotanya adalah untuk berunding menuntaskan masalah yang ada sehingga setiap anggota dapat bekerja sesuai dengan apa yang telah menjadi tugasnya.
Tut Wuri Handayani
Baris terakhir ini yang biasa diartikan dengan Memberikan semangat dari belakang. Mungkin mirip dengan strategi perang dimana Sang Jendral memberikan semangat bagi para serdadunya. Posisi Pemimpin yang berada di belakang bukan berarti benar - benar ada di belakang anggotanya. Dalam konteks ini bisa diartikan Pemimpin tersebut memberikan keleluasaan bagi anggotanya untuk menyelesaikan tugas. Hal ini terkait dengan Fungsi pemimpin sebagai pemberi semangat bagi anggotanya agar termotivasi. Bentuk pemberian semangat pada konteks ini dapat berupa doktrin, reward atau yang lainnya.
Dari perspektif tipe kepemimpinan, kalimat ing ngarso sung tulodho relevan dengan tipe kepemimpinan Laissez faire. Tipe Pemimpin ini adalah mereka yang mempunyai kebijakan permisif terhadap apa yang dilakukan anggotanya untuk menyelesaikan tugas. Pemimpin sangat mempercayai kemampuan anggotanya sehingga memberi mereka keleluasaan untuk menyelesaikan tugas tugas yang ada. Dalam tipe ini pemimpin dituntut untuk rela membagi kekuasaannya dengan anggotanya dalam menyelesaikan tugas.
Dalam konteks kepemimpinan situasional, kepemimpinan laissez faire dapat diterapkan dengan baik apabila mayoritas anggota dalam organisasi/ kelompok itu adalah tipe Mau-Mampun yaitu anggota organisasi yang mau untuk mengemban tugas , mempunyai keterampilan dan pengalaman di bidang tersebut. Fungsi pemimpin hanya sebatas pendelegasian dan pemberi semangat. Tipe anggota seperti inilah yang meringankan beban pemimpin karena anggota yang ditugaskan dapat bekerja dengan optimal tanpa instruksi mendetail dan pengawasan yang ketat. Dengan demikian pemimpin lebih menghemat energi dan mempunyai waktu yang lebih untuk mengembangkan organisasi.

SUATU KOMPOSISI DASAR
Melalui Semboyan yang diusung tersebut, Ki Hajar Dewantara memaparkan kapasitas ideal yang harus dimiliki oleh setiap pemimpin. Komposisi antara ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo mangun Karso dan Tut Wuri handayani harus tetap ada walaupun bobotnya berbeda - beda sesuai dengan konteknya. Bukanlah gaya pemimpin yang baik dimana banyak menerapkan kebijakan otoriter sementara banyak anggota organisasinya merupkan tipe mampu-mau. Begitu pula dengan mayoritas anggota organisasi yang tidak mampu-mau maka kebijakan pemimpin yang terlalu permisif akan membuat hasil yang didapat tidak maksimal.
Agar kelompok/ organisasi berjalan sesuai dengan blue print yang telah dibuat, maka seorang pemimpin dituntut untuk bisa menerapkan tiga baris semboyan tersebut di waktu, tempat dan orang yang tepat. Hal ini tentu saja bukan hal yang mudah, yang bisa dikuasai dalam beberapa hari saja. Diperlukan pengalaman yang terus menerus dan dalam jangka waktu yang lama (satuan lama sangat relatif karena kualitas pribadi juga ikut mempengaruhi) untuk membentuk Pemimpin yang berkualitas.
(http://hariez-zona.blogspot.com/)
Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara merupakan proses pembudayaan yakni suatu usaha memberikan nilai-nilai luhur kepada generasi baru dalam masyarakat yang tidak hanya bersifat pemeliharaan tetapi juga dengan maksud memajukan serta memperkembangkan kebudayaan menuju kearah keluhuran budaya manusia. Upaya kebudayaan (pendidikan) dapat ditempuh dengan sikap (laku) yang dikenal dengan teori Trikon, yaitu
a) Kontinuitas yang berarti bahwa garis hidup kita sekarang harus merupakan lanjutan dari kehidupan kita pada zaman lampau berikut penguasaan unsur tiruan dari kehidupan dan kebudayaan bangsa lain.
b) Konvergensi, yaitu berarti kita harus menghindari hidup menyendiri, terisolasi dan mampu menuju kearah pertemuan antar bangsa dan komunikasi antar negara menuju kemakmuran bersama atas dasar saling menghormati, persamaam hak, dan kemerdekaan masing-masing.
c) Konsentris, yang berarti setelah kita bersatu dan berkomunukasi dengan bangsa-bangsa lain di dunia, kita jangan kehilangan kepribadian sendiri. Bangsa Indonesia adalah masyarakat merdeka yang memiliki adat istiadat dan kepribadian sendiri. Meskipun kita bertitik pusat satu, namun dalam lingkaran yang konsentris itu kita masih tetap memiliki lingkaran sendiri yang khas yang membedakan Negara kita dengan Negara lain.
D. Pilar Pendidikan menurut Dr. Bloom
A. Taksonomi Bloom
Taksonomi berasal dari bahasa Yunani “tassein” yang berarti untuk mengklasifikasi, dan “nomos” yang berarti aturan. Suatu pengklasifikasian atau pengelompokan yang disusun berdasarkan ciri-ciri tertentu. Klasifikasi berhirarki dari sesuatu, atau prinsip yang mendasari klasifikasi. Klasifikasi bidang ilmu, kaidah, dan prinsip yang meliputi pengklasifikasian objek.
Model taksonomi Bloom merupakan salah satu pengembangan teori kognitif, yang biasa sering dikaitkan dengan persoalan dalam merumuskan tujuan pembelajaran dan masalah standar evaluasi atau pengukuran hasil belajar sebagai pengembangan sebuah kurikulum. Taksonomi Bloom merujuk pada taksonomi yang dibuat untuk tujuan pendidikan. Taksonomi ini pertama kali disusun oleh Benjamin S. Bloom pada tahun 1956.           Dalam hal ini, tujuan pendidikan dibagi menjadi beberapa domain (ranah, kawasan) dan setiap domain tersebut dibagi kembali ke dalam pembagian yang lebih rinci berdasarkan hirarkinya.
Tujuan pendidikan dibagi ke dalam tiga domain, yaitu:
1. Cognitive Domain (Ranah Kognitif), yang berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek intelektual, seperti pengetahuan, pengertian, dan keterampilan berpikir.
2. Affective Domain (Ranah Afektif) berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek perasaan dan emosi, seperti minat, sikap, apresiasi, dan cara penyesuaian diri.
3. Psychomotor Domain (Ranah Psikomotor) berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek keterampilan motorik seperti tulisan tangan, mengetik, berenang, dan mengoperasikan mesin.
Dari setiap ranah tersebut dibagi kembali menjadi beberapa kategori dan subkategori yang berurutan secara hirarkis (bertingkat), mulai dari tingkah laku yang sederhana sampai tingkah laku yang paling kompleks. Tingkah laku dalam setiap tingkat diasumsikan menyertakan juga tingkah laku dari tingkat yang lebih rendah, seperti misalnya dalam ranah kognitif, untuk mencapai “pemahaman” yang berada di tingkatan kedua juga diperlukan “pengetahuan” yang ada pada tingkatan pertama.

B. Pengukuran Ranah Kognitif, Afektif dan Psikomotor.
1. Ranah Kognitif
Bloom membagi domain kognitif ke dalam 6 tingkatan. Domain ini terdiri dari dua bagian: Bagian pertama adalah Pengetahuan (kategori 1) dan bagian kedua berupa Kemampuan dan Keterampilan Intelektual (kategori 2-6). Aspek kognitif ini diurutkan secara hirarki piramidal. keenam aspek bersifat kontinum dan overlap (saling tumpang tindih) di mana aspek yang lebih tinggi meliputi semua aspek di bawahnya.
(Daryanto, 1999: 102).
Sistem klasifikasinya dapat digambarkan sebagai berikut:
a. Pengetahuan (knowledge)
Subkategori ini berisikan kemampuan untuk mengenali dan mengingat peristilahan, definisi, fakta-fakta, gagasan, pola, urutan, metodologi, prinsip dasar, dsb.Pengetahuan yang dimaksud disini adalah sesuatu yang berhubungan dengan ingatan (recall) akan hal-hal yang khusus dan umum, ingatan akan metode dan proses, atau ingatan akan sebuah pola, struktur atau lokasi. Penekanan tujuan pengetahuan lebih banyak pada proses psikologis atas upaya untuk mengingat. Pengetahuan ini dapat dikategorisasi lagi menjadi:
1) Pengetahuan khusus
Ingatan tentang potongan-potongan informasi yang spesifik dan dapat dipisahkan. Penekanannya terletak pada simbol dengan referen yang konkret. Simbol yang berada pada tingkat keabstrakan yang rendah tersebut dapat dianggap sebagai unsur yang membangun bentuk pengetahuan yang lebih rumit dan abstrak.
2) Pengetahuan tentang cara dan alat untuk menangani hal-hal yang khusus
Pengetahuan tentang cara-cara mengatur, memelajari, menilai dan mengkritik yang meliputi metode bertanya, urutan kronologis dan standar penilaian pada suatu bidang serta pola pengaturan untuk menentukan dan mengatur wilayah bidang tersebut secara internal. Pengetahuan ini berada di tingkat menengah, diantara pengetahuan tentang hal-hal yang khusus dan pengetahuan tentang hal-hal yang umum.
3) Pengetahuan tentang hal-hal umum dan hal-hal yang abstrak dalam satu bidang
Pengetahuan tentang skema dan pola besar yang mengatur fenomena dan ide. Pengetahuan ini berupa struktur, teori dan generalisasi besar yang mendominasi suatu bidang atau yang biasa digunakan untuk memelajari fenomena atau menyelesaikan masalah. Pengetahuan ini memiliki tingkat keabstrakan dan kerumitan yang tertinggi.
Pengembangan Tes untuk Tujuan Pengetahuan

Ada dua ciri penting dari butir soal pengetahuan yang baik. Ciri yang pertama adalah bahwa butir soal yang baik memiliki tingkat ketepatan dan pembedaan (exactness and discrimination) yang sama dengan tingkat ketepatan dan pembedaan yang digunakan pada pembelajaran sebelumnya. Jika guru yang mengajar pada tingkat awal pengetahuan tentang aturan berbahasa atau pengetahuan tentang metodologi dalam sejarah, butir soal pada materi tersebut tidak boleh menuntut pembedaan (discrimination) yang lebih rumit atau pemakaian yang lebih tepat (exact) daripada yang telah diajarkan. Ciri yang kedua adalah bahwa butir soal yang baik tidak boleh diekspresikan (couched) dalam istilah atau situasi yang baru bagi siswa. Jika ada penggunaan istilah yang belum dikenali siswa, maka guru tidak menguji pengetahuan yang telah diajarkan melainkan kosakata yang belum dikenali (unfamiliar vocabulary).
Dua jenis utama butir soal untuk pengetahuan adalah mengisi atau melengkapi (supply) dan pilihan (choice). Pada butir soal dengan jenis mengisi atau melengkapi (supply) para siswa memberikan jawaban berdasarkan ingatan sedangkan pada butir soal dengan jenis pilihan (choice) para siswa memilih dari sejumlah alternatif yang disediakan. Contoh-contohnya adalah sebagai berikut:
1)         Mengisi atau melengkapi (supply)
 Butir soal melengkapi (completion).
 Secara langsung meminta siswa memberikan definisi, pernyataan dari suatu prinsip
       atau aturan, atau langkah-langkah sebuah metode.
 Stimulus yang diberikan untuk mengingat disajikan dalam bentuk gambar atau suara.
2)         Pilihan (choice)
3).  Bentuk pilihan ganda untuk menguji pengetahuan terminologi atau fakta khusus.
4).    Bentuk benar-salah untuk mendapatkan rapid sampling atau sample dari banyak pengetahuan dengan cepat.
5). Butir soal menjodohkan (matching)

Kemampuan dan Keterampilan Intelektual
Kemampuan dan keterampilan mengacu pada bentuk pengoperasian yang teratur dan teknik yang tergeneralisasi dalam memecahkan suatu materi dan masalah. Materi dan masalah tersebut mungkin saja hanya membutuhkan sedikit atau malah sama sekali tidak membutuhkan informasi yang khusus dan bersifat teknis. Materi dan masalah tersebut juga bisa berada di tingkatan yang lebih tinggi sehingga untuk memecahkannya diperlukan informasi khusus yang bersifat teknis. Tujuan kemampuan dan keterampilan menekankan pada proses mental dalam mengatur dan mengatur kembali materi untuk mencapai tujuan tertentu.
b. Pemahaman (comprehension)
Dikenali dari kemampuan untuk membaca dan memahami gambaran, laporan, tabel, diagram, arahan, peraturan, dsb. Komprehensi merupakan pemahaman atau pengertian seperti ketika seseorang mengetahui apa yang sedang dikomunikasikan dan dapat menggunakan materi atau ide yang sedang dikomunikasikan tersebut tanpa perlu menghubungkannya dengan materi lain atau melihat seluruh implikasinya. Kategorinya meliputi:
1) Penerjemahan
Pemahaman yang dibuktikan dengan kecermatan dan akurasi untuk memparafrase (uraian dengan kata-kata sendiri) atau menerjemahkan satu bahasa ke bahasa lain atau satu bentuk komunikasi ke bentuk yang lain. Materi dalam komunikasi asli tetap terjaga meskipun bentuk komunikasinya telah diubah. Atau dapat juga dimaksudkan kemampuan mengubah konsep abstrak menjadi suatu model simbolik yang memudahkan orang mempelajarinya.
a). Kemampuan memahami pernyataan secara tersirat (metafora, simbolisme, ironi).
b). Keterampilan menerjemahkan materi verbal matematis ke dalam pernyataan simbolis dan sebaliknya.

2) Interpretasi
Penjelasan atau peringkasan suatu komunikasi. Interpretasi berhubungan dengan pengaturan kembali atau suatu pandangan baru akan materi.
 Kemampuan menangkap pemikiran akan sebuah karya sebagai satu kesatuan pada tingkat generalitas manapun yang diinginkan.
 Kemampuan menginterpretasikan beragam jenis data sosial.
3) Ekstrapolasi
Tren atau kecenderungan yang berlanjut melampaui data yang ada guna menentukan implikasi, konsekuensi, efek, dan sebagainya yang sesuai dengan kondisi yang digambarkan dalam komunikasi asli.
 Kemampuan mengambil kesimpulan dengan cepat atas sebuah karya dalam bentuk pendapat yang disusun dari pernyataan-pernyataan yang eksplisit.
 Keterampilan memprediksi kelanjutan dari sebuah tren.
c. Penerapan (application)
Di tingkat ini, seseorang memiliki kemampuan untuk menerapkan gagasan, prosedur, metode, rumus, teori, dsb di dalam kondisi kerja.Pemakaian hal-hal abstrak dalam situasi konkret tertentu. Hal-hal abstrak tersebut dapat berupa ide umum, aturan atas prosedur, atau metode umum dan juga dapat dalam bentuk prinsip, ide dan teori secara teknis yang harus diingat dan diterapkan dalam situasi baru dan konkret.
 Penerapan terhadap fenomena yang dibicarakan dalam satu makalah mengenai istilah atau konsep ilmiah yang digunakan pada makalah lain.
 Kemampuan memprediksi efek yang mungkin timbul akibat perubahan pada suatu faktor terhadap suatu situasi biologis yang telah ada dalam equilibrium.
Pengembangan Tes untuk Tujuan Penerapan
Delapan perilaku yang menunjukkan kemampuan melakukan penerapan adalah:
1) Menentukan prinsip dan generalisasi yang tepat atau relevan
2) Menyatakan kembali (restate) sebuah masalah guna menentukan prinsip dan generalisasi yang diperlukan
3) Merinci batasan suatu prinsip atau generalisasi yang membuat prinsip atau generalisasi benar atau relevan
4) Mengetahui perkecualian atas suatu generalisasi tertentu
5) Menjelaskan fenomena baru yang terdapat pada prinsip atau generalisasi yang telah diketahui
6) Melakukan prediksi dengan berdasarkan pada prinsip dan generalisasi yang tepat
7) Menentukan atau menunjukkan kebenaran (justify) suatu tindakan atau keputusan
8) Menyatakan alasan yang mendukung penggunaan suatu prinsip atau generalisasi
d. Analisis
Di tingkat analisis, seseorang akan mampu menganalisis informasi yang masuk dan membagi-bagi atau menstrukturkan informasi ke dalam bagian yang lebih kecil untuk mengenali pola atau hubungannya, dan mampu mengenali serta membedakan faktor penyebab dan akibat dari sebuah skenario yg rumit.
1) Analisis tentang unsur
Pengidentifikasian unsur-unsur yang ada dalam suatu komunikasi.
 Kemampuan untuk mengetahui asumsi yang tidak terungkapkan.
 Keterampilan dalam membedakan fakta dari hipotesis.
2) Analisis tentang hubungan
Hubungan dan interaksi antara unsur-unsur dan bagian-bagian suatu komunikasi.
 Kemampuan untuk memeriksa konsistensi atau ketetapan hipotese dengan informasi dan asumsi yang ada.
 Keterampilan dalam memahami hubungan antara ide-ide dalam sebuah bacaan.
3) Analisis tentang prinsip-prinsip pengaturan
Pengorganisasian, pengaturan sistematis, dan struktur yang menyatukan komunikasi.
 Kemampuan untuk mengetahui bentuk dan pola dalam karya sastra atau karya seni sebagai alat untuk memahami artinya.
 Keterampilan untuk mengetahui teknik umum yang digunakan dalam materi yang bersifat persuasif, seperti iklan, propaganda, dan sebagainya.
Pengembangan Tes untuk Tujuan Analisis
Kemampuan menganalisis adalah serangkaian keterampilan dan perilaku rumit yang dapat dipelajari siswa melalui praktek dengan beragam materi. Ada enam perilaku yang menunjukkan kemampuan menganalisis, yaitu:
1) Mengklasifikasikan kata, frasa atau pernyataan (subkategori taksonomi analisis tentang unsur
2) Mengungkapkan pendapat (infer) tentang kualitas atau ciri yang tidak dinyatakan secara langsung (subkategori taksonomi analisis tentang unsur)
3) Mengungkapkan pendapat (infer) tentang kualitas, asumsi atau kondisi yang telah dinyatakan (subkategori taksonomi analisis tentang hubungan)
4) Menggunakan kriteria untuk melihat dengan jelas (discern) pola atau urutan (subkategori taksonomi analisis tentang prinsip-prinsip pengaturan).
5) Mengetahui prinsip atau pola yang menjadi dasar suatu dokumen atau karya (subkategori taksonomi analisis tentang prinsip-prinsip pengaturan).
6) Mengungkapkan pendapat (infer) tentang kerangka kerja, tujuan atau sudut pandang (subkategori taksonomi analisis tentang prinsip-prinsip pengaturan).
e. Sintesis
Penyatuan unsur-unsur dan bagian-bagian menjadi satu kesatuan yang berhubungan dengan proses bekerja dengan potongan-potongan, bagian-bagian, unsur-unsur, dana sebagainya, dan mengatur serta menggabungkannya dengan sedemikian rupa guna membentuk suatu pola atau struktur yang sebelumnya tidak jelas.
1) Penghasilan (production) suatu komunikasi yang unik
Pengembangan dari suatu komunikasi dimana penulis atau pembicara berupaya untuk menyampaikan ide, perasaan, dan/atau pengalaman pada orang lain.
 Keterampilan dalam menulis, dengan menggunakan suatu pengaturan ide dan pernyataan yang sangat baik.
 Kemampuan untuk mengungkapkan pengalaman pribadi dengan efektif.
2) Penghasilan (production) sebuah rencana atau serangkaian operasi yang diajukan
Pengembangan dari suatu rencana kerja atau proposal atas sebuah rencana operasi, yang harus memenuhi persyaratan tugas yang mungkin diberikan pada siswa atau mungkin pula dikembangkannya sendiri.
 Kemampuan mengajukan cara-cara untuk menguji hipotesis.
 Kemampuan merencanakan sebuah unit instruksi untuk situasi mengajar tertentu.
3) Penemuan serangkaian hubungan yang abstrak
Pengembangan dari seperangkat hubungan yang abstrak baik untuk mengklasifikasi maupun untuk menjelaskan data atau fenomena tertentu, atau deduksi dari pernyataan dan hubungan dari seperangkat pernyataan dasar atau representasi secara simbolis.
 Kemampuan merumuskan hipotesis yang tepat dengan berdasarkan pada suatu analisis dari faktor-faktor yang terlibat, dan untuk memodifikasi hipotesis tersebut sesuai dengan faktor dan pertimbangan baru.
 Kemampuan membuat penemuan dan generalisasi secara matematis.
f. Evaluasi
Penilaian (judgments) kuantitatif dan kualitatif mengenai nilai dari suatu materi dan metode untuk tujuan tertentu dengan menggunakan standar penilaian yang kriterianya dapat ditentukan oleh siswa sendiri atau ditentukan sebelumnya dan kemudian diberikan pada siswa tersebut.
1) Penilaian (judgments) atas bukti internal
Evaluasi atas akurasi dari suatu komunikasi yang dibuktikan melalui akurasi yang logis, konsistensi dan kriteria internal lainnya.
 Menilai (judging) melalui standar internal, kemampuan untuk menilai probabilitas umum dari akurasi dalam melaporkan fakta dari kecermatan atas ketepatan pernyataan, dokumentasi, bukti dan sebagainya.
 Kemampuan menunjukkan kekeliruan (fallacies) secara logis dalam argumen.
2) Penilaian (judgments) atas kriteria eksternal
Evaluasi atas materi dengan mengacu pada kriteria yang telah dipilih atau diingat.
 Perbandingan dari teori besar, generalisasi, dan fakta mengenai budaya tertentu.
 Menilai (judging) melalui standar eksternal, kemampuan untuk membandingkan sebuah karya dengan standar tertinggi dalam bidangnya –terutama dengan karya-karya lain yang diakui kehebatannya.
Pengembangan Tes untuk Tujuan Evaluasi
Terdapat enam perilaku yang menunjukkan kemampuan untuk melakukan evaluasi, yaitu:
1) Melakukan penilaian (judgments) atas sebuah dokumen atau karya yang berhubungan dengan akurasi, ketepatan (precision), dan kecermatan (akurasi internal)
2) Melakukan penilaian (judgments) atas sebuah dokumen atau karya yang berhubungan dengan konsistensi atas argumen; hubungan antara asumsi, bukti, dan kesimpulan, dan konsistensi internal dari logika dan pengaturan (organization) (konsistensi internal)
3) Mengetahui nilai dan sudut pandang yang digunakan pada penilaian (judgments) atas sebuah karya (kriteria internal)
4) Melakukan penilaian (judgments) atas sebuah karya dengan membandingkannya dengan karya lain yang relevan (kriteria eksternal)
5) Melakukan penilaian (judgments) atas sebuah karya dengan menggunakan seperangkat kriteria atau standar yang tersedia (kriteria eksternal)
6) Melakukan penilaian (judgments) atas sebuah karya menggunakan seperangkat kriteria atau standar eksplisit yang dimiliki siswa (kriteria eksternal)
Pada prinsipnya untuk ranah kognitif untuk keperluan evaluasi pengajaran dapat dikembangkan teknik tes dalam bentuk objektif dan uraian.

2. Ranah Afektif
Pembagian domain ini disusun Bloom bersama dengan David Krathwol dengan lima subkategori; penerimaan (Receiving/Attending), tanggapan (Responding), penghargaan/penilaian (Valuing), pengorganisasian (Organization), dan karakterisasi berdasarkan Nilai-nilai (Characterization by a Value or Value Complex).
a. Penerimaan (berkonsentrasi / attending)
Siswa menjadi peka terhadap keberadaan dari fenomena dan stimuli tertentu, sehingga ia bersedia menerima atau berkonsentrasi pada (attend to) fenomena dan stimuli tersebut. Ini merupakan langkah pertama yang penting dalam mengarahkan siswa untuk memelajari apa yang diinginkan guru.
1) Kesadaran
Kesadaran hampir merupakan perilaku kognitif. Pembelajar menyadari akan sesuatu yang kemudian dipertimbangkannya seperti sebuah situasi, fenomena, obyek, atau urusan tertentu. Seseorang mungkin saja tidak mampu mengungkapkan dengan kata-kata (verbalize) aspek-aspek stimulus yang menimbulkan kesadaran.
2) Kemauan untuk menerima
Menunjukkan perilaku bersedia menerima (tolerate) stimulus yang diberikan, bukan menghindarinya. Perilaku ini melibatkan adanya kenetralan atau penilaian yang tertunda (suspended judgment) terhadap stimulus.
3) Perhatian yang terkontrol atau terpilih
Di tingkat ini penerimaan masih tanpa ketegangan atau asesmen dan siswa mungkin tidak tahu istilah atau simbol teknis untuk menggambarkan sebuah fenomena dengan benar dan tepat pada orang lain. Terdapat unsur dimana pembelajar mengontrol perhatian sehingga ia dapat memilih dan menerima stimulus yang diinginkan.
b. Respon (tanggapan)
Menunjukkan keinginan atau hasrat bahwa seorang anak menjadi terlibat dalam atau memberikan komitmen pada suatu subyek, fenomena, atau kegiatan sehingga ia akan mencari dan memeroleh kepuasan untuk bekerja dengan atau melibatkan diri pada subyek, fenomena, atau kegiatan tersebut.
1) Kepasrahan (acquiescence) dalam merespon
Terdapat suatu perilaku yang pasif dan stimulus yang memancing perilaku ini sulit untuk diterima atau digambarkan (subtle). Terdapat lebih banyak unsur reaksi terhadap sebuah gagasan dan lebih sedikit implikasi dari penolakan atau keterpaksaan (yielding unwillingly).
2) Kesediaan untuk merespon
Pembelajar cukup berkomitmen untuk menunjukkan perilaku bahwa ia bersedia untuk merespon bukan karena takut akan hukuman, namun karena “dirinya sendiri” atau secara sukarela. Unsur penolakan atau keterpaksaan (yielding unwillingly) yang ada pada tingkat sebelumnya, kini digantikan oleh persetujuan yang berasal dari pilihan pribadi seseorang.
3) Kepuasan dalam merespon
Unsur tambahan pada langkah yang melampaui tingkat respon secara sukarela, adalah bahwa perilaku yang tampak disertai dengan rasa puas, suatu respon emosional, yang umumnya menunjukkan rasa senang, kegembiraan atau suka cita.
c. Menilai (Valuing)
Konsep nilai yang abstrak ini sebagian merupakan hasil dari penilaian (valuing) atau asesmen (assessment) dan juga merupakan hasil sosial yang perlahan-lahan telah terserap dalam diri siswa (internalized) atau diterima dan digunakan siswa sebagai kriteria untuk melakukan penilaian. Unsur utama yang terdapat pada perilaku dalam melakukan penilaian adalah bahwa perilaku tersebut dimotivasi, bukan oleh keinginan untuk menjadi siswa yang patuh, namun oleh komitmen terhadap nilai yang mendasari munculnya perilaku.
1) Penerimaan atas nilai
Ciri utama perilaku ini adalah konsistensi respon pada kelompok obyek, fenomena, dan sebagainya, yang digunakan untuk mengidentifikasi keyakinan atau sikap.
2) Pemilihan atas nilai
Perilaku pada tingkatan ini tidak hanya menunjukkan penerimaan seseorang atas suatu nilai sehingga ia bersedia diidentifikasi berdasarkan nilai tersebut, namun ia juga cukup terikat pada nilai tersebut sehingga ia ingin mengejar, mencari, dan menginginkannya.
3) Komitmen
Keyakinan pada tingkatan ini menunjukkan kadar kepastian yang tinggi. Komitmen merupakan penerimaan emosional yang kuat atas suatu keyakinan. Kesetiaan terhadap posisi, kelompok atau tujuan juga termasuk dalam komitmen.
d. Pengaturan (organization)
Ketika pembelajar telah menyerap nilai, ia menemui situasi dimana ada lebih dari satu nilai yang relevan sehingga ia perlu melakukan (a) pengaturan beberapa nilai ke dalam sebuah sistem, (b) penentuan hubungan diantara nilai-nilai tersebut, dan (c) penetapan nilai-nilai yang dominan dan mencakup segala hal.
1) Konseptualisasi suatu nilai
Pada tingkatan ini kualitas keabstrakan atau konseptualisasi menjadi bertambah yang membuat seseorang melihat bagaimana nilai tersebut berhubungan dengan nilai yang telah diyakininya atau nilai baru yang akan diyakininya.
2) Pengaturan suatu sistem nilai
Meminta pembelajar untuk menyatukan sekelompok nilai yang sama, atau mungkin nilai-nilai yang berbeda, dan membawanya ke dalam suatu hubungan dengan nilai lain yang telah diatur dengan baik. Pengaturan nilai dapat menghasilkan sintesis yang berupa suatu nilai baru atau kelompok nilai dengan tingkatan yang lebih tinggi.
e. Karakterisasi melalui suatu nilai atau kelompok nilai
Pada tingkat penyerapan atau internalisasi nilai ini, nilai telah diatur menjadi sebuah sistem yang konsisten secara internal dan telah mengontrol perilaku seseorang yang menganutnya.
1) Perangkat yang tergeneralisasi (Generalized set)
Memberikan suatu konsistensi internal terhadap sistem sikap dan nilai pada saat-saat tertentu yang juga merupakan suatu dasar orientasi yang memungkinkan seseorang untuk mempersempit dan mengatur dunia yang kompleks yang ada di sekitarnya dan untuk bertindak secara konsisten dan efektif.
2) Penentuan karakter
Ini merupakan tingkatan teratas dari proses penyerapan atau internalisasi nilai yang berhubungan dengan pandangan seseorang terhadap dunia, filosofi hidupnya, serta sebuah sistem nilai dengan obyek berupa seluruh bagian dari apa yang telah diketahui atau dapat diketahuinya.
Metode untuk Mengevaluasi Hasil-hasil Afektif :
1) Observasi
Observasi memungkinkan tercapainya asesmen perilaku afektif yang cepat di lokasi tempat subyek berada. Observasi harian juga memungkinkan tercapainya kesimpulan yang lebih langsung dan lebih aman mengenai pola perilaku afektif ketimbang data dari instrumen administrasi tertulis. Dengan mendengarkan apa yang dikatakan siswa pada temannya dan dengan mengobservasi mereka setiap hari, pola-pola perilaku afektif dapat diidentifikasi.
2) Wawancara
Wawancara adalah pertemuan tatap muka secara langsung dimana pewawancara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang telah dikembangkan dengan cermat kepada siswa. Bentuk wawancara bisa terstruktur, bisa pula tidak. Wawancara tidak terstruktur memperluas dan memperdalam infomasi evaluatif dengan mendorong ekspresi pribadi dari sikap siswa yang lebih spontan dan lebih cepat.
3) Pertanyaan Open-Ended
Pertanyaan open-ended membutuhkan pernyataan tertulis yang panjangnya bisa beragam.
4) Kuisioner Closed-Item
Kuisioner dengan pilihan-pilihan yang ditentukan hampir sama dengan wawancara terstruktur yang telah dibahas sebelumnya, hanya saja disini responden melengkapi kuisioner tanpa bantuan pewawancara. Ada dua jenis kuisioner closed-item, yaitu menentukan peringkat (ranking) atau pilihan yang dipaksakan (forced choice) dan skala.

3. Ranah Psikomotor
Rincian dalam domain ini tidak dibuat oleh Bloom, tapi oleh ahli lain berdasarkan domain yang dibuat Bloom. Dari beberapa sumber yang ada rumusan subkategori yang tidak sama baik jumlah maupun istilah yang dipakai.
Dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Taksonomi_Bloom, ranah ini terbagi dalam enam kategori jenjang kemampuan yaitu Persepsi (Perception), kesiapan (Set), guided Response (respon Terpimpin), mekanisme (Mechanism), respon Tampak yang Kompleks (Complex Overt Response), Penyesuaian (Adaptation), Penciptaan (Origination).
Keenam subketegori tersebut menurut Daryanto (1999:123) masih dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok utama, yakni keterampilan motorik (muscular or motor skill), manipulasi benda-benda (manipulation of material or objects) dan koordinasi neuromuscular.
Menurut Harrow,Ranah Psikomotorik ada 5 tingkat yaitu (1)meniru, (2) manipulasi, (3) ketepatan gerakan, (4) artikulasi dan (5) naturalisasi.
Gambaran tentang tingkat klasifikasi dan subkategori ranah psikomotor dapat dilihat dari skema berikut:
Tingkat Klasifikasi dan subkategori Batasan Tingkah laku
1. Gerakan Refleks
1.1. Refleks segmental
1.2. Refleks intersegmental
1.3. Refleks suprasegemental Kegiatan yang timbul tanpa sadar dalam menjawab rangsangan Bungkuk, meregangkan badan, penyesuaian postur tubuh.
2. Gerakan fundamental yang dasar
2.1. Gerakan lokomotor
2.2. Gerakan nonlokomotor
2.3. Gerakan manipulative
Pola-pola gerakan yang dibentuk dari paduan gerakan-gerakan reflex dan merupakan dasar gerakan terampil kompleks. Jalan, lari, lompat, luncur, guling, mendaki, mendorong, tarik, pelintir, pegang dsb.
3. Kemampuan Perseptual
3.1. Diskriminasi kinestetis
3.2. Diskriminasi visual
3.3. Diskriminasi Auoditeoris
3.4. Diskriminasi Taktil
3.5. Diskriminasi Terkoordinir Interpretasi stimulasi dengan berbagai cara yang memberi data untuk siswa membuat penyesuaian dengan lingkungannya Hasil-hasil kemampuan perseptual diamati dalam semua gerakan yang disengaja
4. Kemampuan Fisik
4.1. Ketahanan
4.2. Kekuatan
4.3. Fleksibilitas
4.4. Agilitas Karakteristik fungsional dari kekuatan organic yang esensial bagi perkembangan gerakan yang sangat terampil Lari jauh, berenang, gulat, balet, mengetik dsb.
5. Gerakan Terampil
5.1. Keterampilan Adaptif
5.2. Keterampilan Adaptif terpadu
5.3. Keterampilan Adaptif kompleks Suatu tingkat efisiensi apabila melakukan tugas-tugas gerakan kompleks yang didasarkan atas pola gerak yang inheren Semua keterampilan yang dibentuk atas lokomotor dan pola gerakan manipulatif
6. Komunikasi Nondiskursif
6.1. Gerakan Ekspresif
6.2. Gerakan Interpretatif Komunikasi melalui gerakan tubuh mulai dari ekspresi muka sampai gerakan koreografis yang rumit Gerakan muka, semua gerakan tarian dan koreografis yang dilakukan dengan efisien

Pada ranah psikomotorik ini evaluasi yang dapat dikembangkan adalah tes kinerja (performance) atau praktik.
(http://alim-online.blogspot.com/)








BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
a)        Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
b)        UNESCO memberi koridor pendidikan dalam 4 pilar yakni : learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together.
c)        Semboyan pendidikan yang sangat terkenal dari bapak Pendidikan Indonesia Ki hajar dewantara yaitu Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing madyo mangun Karso, tut wuri handayani
d)       Pilar pendidikan menurut Dr. Bloom yaitu :Cognitive Domain (Ranah Kognitif),Affective Domain (Ranah Afektif),Psychomotor Domain (Ranah Psikomotor)
B. Saran
Pendidikan di Indonesia harus diarahkan pada peningkatan kualitas kemampuan intelektual dan profesional serta sikap, kepribadian dan moral. Dengan kemampuan dan sikap manusia Indonesia yang demikian maka pada gilirannya akan menjadikan masyarakat Indonesia masyarakat yang bermartabat di mata masyarakat dunia







DAFTAR PUSTAKA

id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan
http://lp2m.web.id/pilar-pendidikan-menurut-unesco/
http://atikatikaaziz.blogspot.com/2010/09/4-pilar-pendidikan-menurut-unesco.html
http://atikatikaaziz.blogspot.com/2010/09/4-pilar-pendidikan-menurut-unesco.html
http://alveean.wordpress.com/2008/10/24/empat-pilar-pendidikan-menurut-unesco/
http://hariez-zona.blogspot.com/2007/11/ing-ngarso-sung-tulodho-ing-madyo.html
http://Alim-online.blogspot.com/2010/05/evaluasi-taksonomi-dan-tujuan.html